Eksekusi Jaminan Fidusia
Pasca Putusan MK
Dalam praktek perjanjian leasing (sewa guna usaha) antara lembaga pembiayaan (kreditor) dan sering sekali dibarengi dengan objek jaminan berupa fidusia khususnya perjanjian leasing kendaraan bermotor, namun tidak jarang permasalahan hukum terjadi. Eksekusi yang dimaksud di sini adalah proses penarikan objek jaminan fidusia dari penguasaan debitor karena cidera janji/wanprestasi hingga proses hingga proses penjualannya.
UU Fidusia mengatur 3 cara/jenis eksekusi jaminan fidusia sebagaimana Pasal 29 ayat (1), yaitu :
- Pelaksanaan tittle eksekutorial pada sertifikat jaminan fidusia dengan cara menjual objek jaminan atas kekuasaannya sendiri. (parate executie)
- Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
- penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Berkaitan dengan hal tersebut diajukanlah judicial review mengenai tittle eksekutorial di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2019 lalu, perbuahan signifikan terjadi mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagaimana putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019 yang mana Pemohon menguji ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia yang dianggap bertentangan dengan UUD Negara RepubIik Indonesia 1945
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
Pasal 15 ayat (2) :
“Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Pasal 15 ayat (3) :
“Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Yang dipermasalahkan pemohon dalam pasal tersebut frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan kekuatan putusan pengadilan” dan frasa “cedera janji”. Jika frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan kekuatan putusan pengadilan” tersebut dimaknai bahwa kreditor (pemberi fidusia) yang mempunyai sertifikan jaminan fidusia diberikan kewenangan mengeksekusi jaminan fidusia secara langsung tanpa mekanisme/prosedur yang sama dengan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan, hal tersebut dapat memunculkan kesewenang-wenangan penerima fidusia (kreditor) yang mana dalam prakteknya banyak ditemukan eksekusinya melibatkan pihak debt-collector dan tidak jarang diwarnai dengan keributan.
Frasa selanjutnya yang menjadi masalah adalah frasa “cidera janji” pada ayat (3) yang tidak menunjukkan kejelasan indikator dan penilaian terhadapnya. Ketentuan tersebut tidak mengatur secara eksplisit siapa yang berwenang dan mempunyai hak untuk memberikan penilaian bahwa debitur telah melakukan tindakan “cidera janji”. Oleh karena tidak ada mekanisme yang jelas hal tersebut menyebabkan penilaian subyektif dan sepihak dari kreditor (penerima fidusia) dengan mengabaikan pertimbangan pemberi fidusia (debitor) tanpa mempertimbangkan “itikad baik atau niat baik” debitor.
Hal ini memang membingungkan, karena pada umumnya jika terjadi sengketa oleh para pihak dalam perjanjian diselesaikan di pengadilan agar dapat menentukan secara hukum siapa yang berhak dan siapa yang tidak serta agar dapat dieksekusi untuk pemenuhan perjanjian ataupun ganti kerugian namun hal itu disimpangi pada jaminan fidusia. Yang mana sebelum menentukan apakah debitor wanprestasi atau tidak, jika kreditor mempunyai sertifikat jaminan fidusia maka kreditor dapat secara serta merta mengeksekusi obyek jaminan tanpa ada kesempatan debitor untuk menyanggah atau menyangkalnya, tidak penting lagi kapan dan bagaimana debitor dikatakan melakukan cidera janji. Meskipun masih ada beberapa poin lain yang disampaikan pemohon dalam judicial review namun secara garis besar hal tersebut yang dimohonkan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia.
Atas permohonan judicial review tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon sebagian yang tertuang dalam Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 yaitu :
- Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”
- Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”
- Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang- 126 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”
Jika terjadi wanprestasi/cidera janji kreditor sebagai pemegang hak fidusia harus memenuhi unsur-unsur berikut agar dapat melakukan eksekusi pada objek jaminan fidusia :
- Kreditor (Perusahan Pembiayaan) hanya dapat melakukan eksekusi jika jaminan fidusia telah di daftarkan di kantor pendaftaran fidusia dibawah Kementerian Hukum dan HAM dan mendapatkan Sertifikat Jaminan Fidusia. (Pasal 15 UU Fidusia dan Pasal 23 Peraturan OJK No. 29/POJK.05/2014)
- Kreditor telah memberikan/mengirimkan surat peringatan penagihan kepada Debitor. (Pasal 50 Peraturan OJK No. 35 /POJK.05/2018)
- Jika kreditor melakukan kerja sama dengan pihak lain (debt collector) dalam melakukan penagihan harus ada perjanjian kerja sama (secara tertulis dan bermaterai) antara kreditor dengan pihak lain tersebut. Yang mana pihak lain tersebut harus berbadan hukum, memiliki izin dari instansi berwenang, SDM tersebut harus memiliki sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Profesi. (Pasal 48 Peraturan OJK No. 35 /POJK.05/2018)
- Kreditor dapat melaksanakan tittle eksekutorial dan menjual di pelelangan umum atas kekuasaannya sendiri (tanpa penetapan pengadilan) jika dan hanya jika debitor mengakui dirinya telah melakukan wanprestasi dan debitor secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia pada kreditor.
Adapun Putusan MK yang terakhir berkaitan dengan jaminan fidusia pada putusan No. 2/PUUXIX/2021 yang menolak permohonan pemohon judicial review dan hanya sebagai penegasan kembali putusan No. 18/PUU-XVII/2019. Yang pada intinya eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanya sebuah alternatif. Alternatif yang dimaksud adalah pilihan apabila kesepakatan wanprestasi tidak dicapai dan tidak ada penyerahan sukarela objek jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan eksekusinya tidak dapat dilakukan sendiri oleh kreditur, akan tetapi harus mengajukan permohonan eksekusi dan meminta bantuan ke pengadilan negeri. Selain itu, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dan Mahkamah Kosntitusi berupaya menjamin kesetaraan posisi antara debitur dan kreditur, dimana jalur hukum ditempuh apabila terdapat ketidaksepakatan berkaitan dengan wanprestasi, maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan fidusia. Yang mana hal ini diharapkan bisa memberikan keadilan bagi kedua belah pihak.