Hak-Hak Istri Setelah Perceraian
Berdasarkan UU No. 30/2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Tentang Perkawinan No. 1/1974 Pasal 49 diatur bahwa perceraian bagi orang yang beragama islam diselesaikan di Pengadilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menurut merupakan implementasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam yang telah ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, yang dijadikan sebagai landasan hukum, pedoman, pembinaan dan penyuluhan maupun sebagai bahan referensi dan kajian mengenai sengketa bagi orang yang beragama islam yang salah satunya adalah perceraian sebagai sebab salah satu putusnya perkawinan.
Berkaitan dengan hal tersebut hak-hak istri atau perempuan setelah terjadinya perceraian dapat dikategorikan sebagai berikut :
A. Cerai Talak (Apabila suami sebagai pihak Pemohon/yang mengajukan cerai)
Perceraian yang terjadi karena adanya permohonan cerai dari suami kepada Istri. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 akibat talak/setelah terjadinya perceraian, mantan istri berhak mendapatkan :
- Mut’ah (bisa diartikan penggembira) yang layak dari dari mantan suaminya, mut’ah tersebut dapat berupa uang atau benda.
Dengan pengecualian apabila mantan istri qabla al dukhul atau belum digauli, mantan suami tidak berkewajiban memberikan mut’ah. (Pasal 158 KHI) - Nafkah Iddah (nafkah selama istri dalam masa iddah), maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) yang layak selama masa iddah mantan istri.
Dengan pengecualian apabila mantan istri tidak dijatuhi talak ba’in atau nusyuz. - Nafkah lampau atau terhutang, apabila selama hubungan perkawinan mantan suami tidak memberikan nafkah kepada istri.
- Mahar terhutang atau pelunasan mahar yang masih belum dibayar oleh mantan suami kepada mantan istri seluruhnya.
Apabila istri qabla al dukhul, maka mahar dibayarkan setengah dari total nilai mahar. - Harta bersama atau harta yang diperoleh suami dan istri selama masa perkawinan separuhnya (Pasal 97 KHI) sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
- Nafkah hadhanah atau nafkah untuk anak-anak yang umurnya dibawah 21 tahun yang lahir dari perkawinan tersebut.
- Hadhanah atau hak asuh atas anak yang belum mummayiz atau umurnya dibawah 12 tahun. (Pasal 105 KHI)
B. Cerai Gugat (Apabila suami sebagai pihak Pemohon/yang mengajukan cerai)
Perceraian yang terjadi karena adanya gugatan perceraian dari istri kepada suaminya biasa disebut gugat cerai. Sepanjang istri tidak dijatuhi talak ba’in dan istri tidak terbukti nusyuz (secara istilah biasa diartikan saat istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami), maka mantan istri berhak mendapatkan :
- Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat yang tersebut dalam pasal 158 KHI. (Pasal 159 KHI)
- Nafkah Iddah (nafkah selama istri dalam masa iddah), maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) yang layak selama masa iddah mantan istri. (Pasal 152 KHI)
- Nafkah lampau atau terhutang, apabila selama hubungan perkawinan mantan suami tidak memberikan nafkah kepada istri.
- Mahar terhutang atau pelunasan mahar yang masih belum dibayar oleh mantan suami kepada mantan istri seluruhnya.
Apabila istri qabla al dukhul, maka mahar dibayarkan setengah dari total nilai mahar. - Harta bersama atau harta yang diperoleh suami dan istri selama masa perkawinan separuhnya (Pasal 97 KHI) sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
- Nafkah hadhanah atau nafkah untuk anak-anak yang umurnya dibawah 21 tahun yang lahir dari perkawinan tersebut. (Pasal 156 huruf d)
- Hadhanah atau hak asuh atas anak yang belum mummayiz atau umurnya dibawah 12 tahun. (Pasal 105 KHI)
*Catatan dalam perkara cerai gugat para hakim masih berbeda pendapat mengenai pemberian nafkah iddah dan mut’ah kepada istri, namun Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, dan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 Kamar Agama nomor 3 yang berbunyi: “Mengakomodir PERMA 3/2017 maka istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah, dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz”. Begitu juga telah terbut SE DirJenBadilAg No.1960/DJA/HK.00/6/2021 Tentang Jaminan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian.