Upaya Hukum Banding
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan pengadilan negeri karena merasa haknya terserang atau menganggap putusan itu tidak benar atau kurang adil, ia dapat mengajukan Upaya Hukum Banding. Ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas peradilan dalam dua tingkat itu bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan dalam tingkat pertama ira belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Perlu kiranya mendapat perhatian bahwa tentang Upaya Hukum Banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. Acara banding dalam perkara pidana semula diatur dalam Pasal 350 sampai dengan 356 HIR yang kemudian dicabut oleh S. 1932 No. 460 ja 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strufvordering voor a raden van justite op Java en het hooggerechtshof van Indonesia (Pasal 282 dan seterusnya). Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP Pasal 67, 87, 233-243 KUHAP.
Bagi perkara perdata, Upaya Hukum Banding semula diatur dalam Pasal 188 sampai dengan 194 HIR. Tetapi, dengan adanya Pasal 3 jo. 5 UUDar. 1/195 pasal-pasal tersebut sekarang tidak berlaku lagi. Dan yang sekarang berlaku ialah UU 20/1947 untuk Jawa dan Madura, sedang untuk daerah luar Jawa dan Madura ialah Rbg Pasal 199 sampai dengan 205. Kita lihat bahwa ketentuan mengenai banding masih pluralistis.
Sesudah dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri, ada kemungkinan pihak yang berkepentingan mengajukan Upaya Hukum Banding , Tidak selalu permohonan banding dibolehkan. Hanya putusan Pengadilan Negeri mengenai perkara yang harga gugatnya lebih dari Rp 100,00 sajalah yang dapat dimintakan banding, Jadi, ada kemungkinan Pengadilan Negeri memutus dalam tingkat tertinggi, yaitu apabila harga gugatnya Rp 100,00 ke bawah. Batasan itu diberikan agar jangan sampai perkara yang kecil-kecil dimintakan banding, sehingga perkara banding terimbun dan menambah beban saja pada Pengadilan Tinggi. Sekarang batasan itu tidak ada artinya lagi karena perkara-perkara sekarang tidak ada yang meliputi harga Rp 100,00 atau kurang, sedang biaya perkara yang harus dibayarkan pada waktu memasukkan surat gugat sudah meliputi ribuan rupiah, sehingga tidak ada orang yang akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri apabila sengketanya meliputi harga Rp100,00 atau kurang
Yang dapat mengajukan permohonan banding ialah yang bersangkutan (Pasal 6 UU 20/1947, 199 Rbg, Pasal 26 ayat 1 947 UU No 48 tahun 2009). Mengingat bahwa banding merupakan upaya hukum untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan, dan juga bahwa banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak yang dimenangkan, kiranya banding hanya diperuntukkan bagi pihak yang dikalahkan atau merasa dirugikan. Demikian pula putusan MA tanggal 2 Desember 1975 yang menyatakan bahwa permohonan banding itu hanya terbatas pada putusan Pengadilan Negeri yang merugikan pihak yang naik banding, jika tidak ditujukan pada putusan Pengadilan Negeri yang menguntungkan baginya, maka karena putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 28 Maret 1970 mengenai gugat dalam kovensi tidak merugikan bagi penggugat/pembanding, Pengadilan Negeri tidak berwenang meninjaunya.
Yurisprudensi menentukan bahwa putusan banding hanya dapat menguntungkan pihak yang mengajukan banding. Jelasnya apabila penggugat/terbanding tidak menyatakan mohon banding, dianggap telah menerima putusan Pengadilan Negeri, sehingga dalam pemeriksaan tingkat banding bagian gugatan penggugat/terbanding yang tidak dikabulkan tidak ditinjau kembali. Jadi, baik penggugat maupun tergugat dapat minta agar perkara mereka yang telah diputus itu diulangi pemeriksaannya oleh Pengadilan Tinggi. Kalau putusan itu dijatuhkan di luar hadir tergugat, tergugat tidak boleh mengajukan banding: ia hanya boleh mengajukan perlawanan saja kepada hakim yang memeriksa dalam tingkat pertama itu. Akan tetapi, kalau penggugat tidak menerima putusan di luar hadir tergugat itu, ia boleh mengajukan permohonan banding, dan dalam hal ini tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanannya dalam pemeriksaan tingkat pertama. Tetapi kalau tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh meminta pemeriksaan ulangan (Pasal 8 UU 20/1947, 200Rbg).
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan (Pasal 7 UU 20/1947, 199 Rbg), atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan. Setelah satu pihak menyatakan naik banding dan dicatat oleh panitera, maka pihak lawan diberi panitera tentang permintaan banding itu selambat-lambatnya 14 hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk melihat surat-surat serta berkasnya di Pengadilan Negeri selama 14 hari (Pasal 11 ayat 1 UU 20/1947, 202 bukti-bukti baru, sebagai uraian daripada alasan permohonan banding (memori banding) kepada panitera Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang bersangkutan, sedang terbanding dapat menjawab memori itu dengan kontra memori banding. Kemudian salinan putusan serta surat-surat pemeriksaan harus dikirim kepada panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan, selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima permohonan banding. Pembuatan atau pengiriman memori banding tidak merupakan kewajiban. Undang-undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan risalah banding, Hal ini berbeda dengan kasasi.
Apabila dalam tingkat banding diajukan memori banding, hal itu tidak mewajibkan Pengadilan Tinggi untuk mempertimbangkan memori banding tersebut. Hal itu tampak dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 3 Januari 1971 yang memutuskan bahwa “keberatan yang diajukarm penggugat untuk kasasi, bahwa memori bandingnya tidak dipertimbangkam oleh Pengadilan Tinggi, tidak dapat dibenarkan, oleh karena hal putusar tersebut tidak dapat membatalkan putusan, sebab dalam tingkat banding suatu perkara diperiksa kembali dalam keseluruhannya.
Kiranya sudah saatnya untuk dipikirkan adanya ketentuan mengena keharusan adanya memori banding. Adanya keharusan mengajukar memori banding tidak berarti bahwa hakim terikat pada apa yang diuraikan dalam memori banding.
Kalau batas waktu 14 hari dalam mana hak yang bersangkutan boleh menyatakan naik banding itu sudah lewat dan kemudian diajukan permohonan banding oleh salah satu pihak, Pengadilan Negeri yang menerimanya tidak boleh menolaknya, akan tetapi wajib meneruskannya ke Pengadilan Tinggi, sebab yang berhak menolak atau menerima permohonan banding hanyalan Pengadilan Tinggi.
Apakah yang dapat dimohonkan pemeriksaan banding? Pada asasnya, semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan pemeriksaan ulang oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila undang-undang menentukan lain (Pasal 26 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009, 9 UU 20/1947). Putusan sela tidak dapat dimintakan banding, kecuali dimintakan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Putusan tentang tidak wenangnya hakim merupakan putusan akhir (Pasal 9 UU 20/1947, 201 Rbg). Mengingat bahwa dalam pemeriksaan banding itu pemeriksaan perkara diulangi, pada asasnya perubahan dan penambahan tuntutan dibolehkan (lihat juga Pasal 344 Rv).
Pasal 9 UU 20/1947 menentukan bahwa yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan akhir saja. Putusan yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Dengan demikian, penetapan tidak dapat dimohonkan banding. Penetapan tidak berisi penyelesaian sengketa. Apa yang terdapat dalam penetapan bersifat declaratoir. Hakim di sini lebih berfungsi sebagai aparat administrasi.
Pengadilan Tinggi memeriksa perkara banding dengan majelis yang terdiri dari 3 orang hakim, dan kalau perlu dengan mendengar sendiri para pihak (Pasal 15 UU 20/1947. Pasal II ayat 1 UUDar. 11/ 1955 memberi pengecualian dalam hal ini dengan menentukan, bahwa pemeriksaan perkara perdata dalam tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan 3 orang hakim, kecuali apabila Ketua Pengadilan Tinggi menentukan bahwa segolongan perkara-perkara atau suatu perkara tertentu akan diputus oleh seorang hakim yang ditunjuk olehnya. Di dalam praktik, kesempatan ini sering dimanfaatkan. memutuskan hal-hal yang tidak dituntu Ini berarti bahwa hakim dalam tingkat banding harus membiark putusan dalam tingkat peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dala tingkat banding (tantum devolutum quantum apellatum). Hal ini dapat k lihat juga yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusannya tang 21 Februari 1970 berpendapat bahwa amar putusan Pengadilan Tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri hanya memutus bahu “penggugat berwenang atas tanah sengketa”. Jadi hanya sebagian saja d tuntutan, padahal tuntutan penggugat lebih banyak lagi, oleh karena putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan. 260 Demikian pula putus MA tanggal 19 Juni 1971, yang menetapkan bahwa putusan Pengadil Tinggi salah karena memutus hal-hal tidak dituntut.
Menurut Pirsig, satu dari empat atau lima perkara yang telah diselesaikan dalam Pengadilan Negeri meminta naik banding. Kiraya imbangan menurut Pirsig tersebut belum mendekati kebenaran. Terutar dalam perkara perdata lebih banyak dimintakan banding daripada dalam perkara pidana. Sudikno Mertokusumo (2010). HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Jika Anda memiliki masalah hukum, sangat disarankan untuk mencari bantuan dari seorang profesional hukum atau pengacara yang dapat memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan keadaan Anda. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk memberikan panduan hukum yang tepat sesuai dengan peraturan dan norma hukum yang berlaku. Jangan ragu untuk menghubungi praktisi hukum yang sah untuk membahas permasalahan hukum Anda. http://kantorpengacara-ram.com