Teori Kausalitas dalam Hukum Pidana
Ajaran kausalitas adalah ajaran tentang sebab akibat. Untuk delik materil permasalahan sebab akibat menjadi sangat penting. Kausalitas berlaku ketika suatu peraturan pidana tidak berbicara tentang perbuatan atau tindak pidananya (yang dilakukan dengan sengaja), namun menekankan pada hubungan antara kesalahan atau ketidaksengajaan (culpa) dengan akibat.
Dengan demikian, sebelum mengulas unsur kesalahan, hakim pertama-tama menetapkan ada tidaknya hubungan kausal antara suatu tindakan dan akibat yang muncul. Jadi ajaran kausalitas menentukan pertanggungjawaban untuk delik yang dirumuskan secara materil, mengingat akibat yang ditimbulkan merupakan unsur dari delik itu sendiri.
Seperti tindak pidana pembunuhan, di mana tidak ada perbuatan pidana pembunuhan jika tidak ada akibat kematian dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dalam kasus ini, diduga terdapat tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain karena tersambar petir.
Mengenai teori kausalitas yang Anda tanyakan, berikut penjelasannya masing-masing:
Teori Conditio Sine Qua Non dari von Buri
Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dilepaskan dari tindakan pertama tersebut. Karena itu suatu tindakan harus merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang setara. Konsekuensi teori ini, kita dapat merunut tiada henti sebab suatu peristiwa hingga ke masa lalu (regressus ad infinitum).
Dalam kasus ini, maka majikan yang menyuruh pembantunya membeli sesuatu ke warung agar disambar petir, atau orang yang tidak memasang penangkal petir di sekitar jalan yang dilalui pembantu, atau orang lain yang memberi ide kepada majikan tentang adanya cara untuk membuat orang mati karena disambar petir tanpa tahu adanya masalah antara majikan dan pembantunya, pun dapat dianggap sebagai penyebab kematian pembantu tersebut. Beberapa ahli menyatakan teori ini tidak mungkin digunakan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana karena terlalu luas.
Teori Generalisasi dari Treger
Teori ini hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yang menimbulkan akibat yang dilarang.
Termasuk dalam teori ini adalah teori adequat dari Von Kries, yakni musabab dari suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat menimbulkan akibat atau kejadian yang dilarang.
Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu akibat.
Dalam hal ini, menurut hemat kami, maka harus diselidiki lebih dahulu apakah: majikan memiliki pengetahuan bahwa jika keadaan hujan dan terdapat petir, maka besar kemungkinan orang berjalan di bawah hujan dapat tersambar petir.
Keadaan saat itu memang hujan lebat dengan petir menyambar, namun ia tetap meminta pembantu keluar membeli barang. Jika iya, maka majikan dapat dinyatakan menjadi musabab objektif dari meninggalnya pembantu akibat tersambar petir, karena tidak adanya sebab lain.
memang kelalaian pembantu yang melewati jalan di bawah guyuran hujan dengan menggunakan seluler yang kemudian memancing sambaran petir. Kelalaian pembantu sendiri yang menjadi musabab dirinya tersambar petir.
adanya kelalaian orang di sekitar jalan yang seharusnya memasang penangkal petir di bangunannya, namun tidak dilakukan. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pembantu tersambar petir ketika melewati bangunannya.
Dalam teori ini terdapat tiga musabab. Harus dicari perbuatan mana yang paling dekat dengan akibat tersambar petirnya pembantu tersebut.
Teori Individualisasi/Pengujian Causa Proxima
Dalam ajaran causa proxima, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat.
Peristiwa pidana dilihat secara in concreto atau post factum. Di sini hal yang khusus diatur menurut pandangan individual, yaitu hanya ada satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat.
Dalam tataran praktik harus dilihat pembuktiannya, apakah dalam pembuktian forensik terbukti kematian memang akibat dari tersambar petir, dan petir terpercik karena apa. Akhirnya ditemukan sebab yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari adanya sambaran petir tersebut.
Mengenai pertanggungjawaban pidana, maka harus dilihat terpenuhi tidaknya unsur pidana serta unsur kesalahan dari tindak pidana yang dikenakan terhadap terdakwa.
(Demikian Penjelasan: Teori Kausalitas dalam Hukum Pidana sumber: hukumonline”)