Opini Hukum

Opini Hukum

KEBEBASAN DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

BEDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2020

Riqi setiawan,S.H

Lawyer Associate Kantor Hukum RAM & PARTNERS

 

OPINI HUKUM

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang terjadi dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Jose Veloso Abueva menjelaskan pengertian korupsi adalah mempergunakan kekayaan negara (biasanya uang, barang-barang milik negara atau kesempatan) untuk memperkaya diri sendiri, sedangkan menurut Juniardi suwartojo menjelaskan pengertian korupsi perbuatan satu orang atau lebih yang melanggar norma atau aturan yang berlaku melalui penggunaan 2 atau penyalahgunaan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, ketentuan penerimaan pajak atau ketentuan penghasilan dari fasilitas atau jasa lain, penyimpanan uang atau kekayaan, dan perizinan dan atau jasa lain untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang merugikan kepentingan negara dan masyarakat (Abdi, 2021)

Korupsi termasuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan merupakan permasalahan utama bangsa Indonesia yang tidak kunjung terselesaikan. Korupsi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif yang memiliki implikasi besar terhadap sosial budaya, ekonomi, politik dan ekologi dibuktikan dengan pengkajian atas dampak tersebut oleh lembaga pemerintahan mencakup lembaga non pemerintahan, nasional maupun internasional. Persoalan korupsi yang telah menimbulkan terlanggarnya hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat serta mengganggu berjalannya proses demokrasi dalam perkembangannya nyatanya terjadi hampir di semua lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan (Ria et al., 2021: 1433-1433).

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah dijelaskan di dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang[1]Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) yang menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana. Jenis-jenis dari tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut (Kharismawan & Wahyuningsih, 2017:491-492).

  1. Kerugian keuangan negara
  2. Suap-menyuap
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi

Hambatan penanganan kasus tindak pidana korupsi yaitu mengenai munculnya suatu disparitas dalam suatu putusan. Adanya perbedaan dalam penjatuhan hukuman pada dasarnya adalah hal yang wajar karena dapat dikatakan hampir tidak ada perkara yang memang hampir sama. Disparitas pemidanaan menjadi permasalahan ketika rentang perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara serupa sedemikian besar, sehingga menimbulkan ketidakadilan serta dapat menimbulkan kecurigaan di masyarakat.

Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya menanggulangi kasus korupsi yaitu dengan cara preventif atau pencegahan korupsi dan strategi represif atau penindakan kasus korupsi. Salah satu strategi represif pemerintah dengan melakukan proses penegakan hukum. Proses penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, kecermatan dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis serta fakta empirik sehingga nantinya putusan pemidanaan dapat mencerminkan penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat. Kenyataannya disparitas tidak mungkin dihilangkan namun yang perlu diperhatikan adalah mempersempit adanya disparitas dari sebuah pemidanaan

Pemidanaan tersebut memang merupakan ranah dari kekuasaan kehakiman untuk menentukan hukuman yang dianggap adil untuk masing-masing terdakwa. Hakikatnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasan yang merdeka dari pengaruh kekuasan negara. Pengaturan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman saat ini diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tersebut telah menggariskan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat”. Pasal tersebut memberikan arahan kepada majelis Hakim dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan perkara tidak semata-mata terpaku kepada hukum peraturan-peraturan. Sikap aktif dan kreatif Hakim untuk mengadili, memahami nilai-nilai di tengah masyarakat merupakan langkah untuk mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai di masyarakat (Muammar et al., 2021:76-78).

Putusan hakim sesuatu yang ditunggu karena dimungkinkan untuk menjatuhkan pidana yang berbeda meskipun tindak pidananya sama. Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana sesuai kehendaknya, karena pada dasarnya hukum pidana positif Indonesia menggunakan sistem alternatif dalam pencantuman sanksi pidana. Ajaran kebebasan hakim, mereka sering merasa tidak ada keterikatan untuk hanya saja mengikuti suatu konsep tertentu baik hal itu berkaitan dengan tujuan maupun pedoman pemidanaan. Inilah yang akhirnya menimbulkan berbagai fakta mengenai apa yang disebut dengan disparitas (Anggraeny, 2013:71).

Bentuk strategis Mahkamah agung untuk mencegah Perbedaan dalam penjatuhan Putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi adalah dengan dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2020, hal ini berpengaruh secara normatif mengikat Mahkamah Agung mengenai penafsiran terhadap ketentuan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yakni dengan ditetapkannya kriteria penjatuhan hukuman dalam pasal-pasal tersebut. Alasan pertimbangan PERMA No. 1 Tahun 2020 menyatakan bahwa setiap penjatuhan Putusan pidana harus dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa diperlukan pedoman pemidanaan. Penerbitan PERMA ini dapat dipandang sebagai salah satu langkah dan tindakan nyata dari Mahkamah Agung dalam rangka mencegah dan menanggulangi terjadinya disparitas pidana yang timbul dalam berbagai putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. Adanya pedoman pemidanaan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum guna menanggulangi masalah disparitas pidana yang sering terjadi pada kasus-kasus tindak pidana korupsi (Rahmayanti, 2021:5).

PERMA No. 1 Tahun 2020 mengikat Hakim dalam menentukan berat ringannya pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan yang proporsional dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara tindak pidana korupsi. Pasal 5 PERMA No. 1 Tahun 2020 yang berkaitan dengan berat ringannya pidana, Hakim harus mempertimbangkan tahapan sebagai berikut:

  1. Kategori kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
  2. Tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan
  3. Rentang penjatuhan pidana
  4. Keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan
  5. Penjatuhan pidana
  6. Ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana

Keenam parameter tersebut kemudian dikonkritkan dengan pembuatan matriks dengan rentang penjatuhan pidana penjara dan denda yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan kerugian negara dengan kategorisasi paling berat, berat, sedang, ringan, paling ringan sedangkan kesalahan, dampak dan keuntungan dengan membuat kategorisasi tinggi, sedang, dan rendah (Muammar et al., 2021:12).

Pertimbangan hukum Hakim erat kaitannya dengan kebebasan dalam memutus perkara yang diadili. Putusan Hakim pada dasarnya dibuat dalam rangka memberikan jawaban terhadap persoalan yang diajukan kepadanya. Hakim dianggap selalu tahu hukumnya (ius curia novit). Putusan itu harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang memadai, yang bisa diterima secara nalar kalangan forum keilmuan, masyarakat luas dan para pihak yang berperkara. Hakim perlu mencermati agar putusannya sejalan dengan doktrin ilmu pengetahuan hukum. Pertimbangan Hakim secara yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang telah terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan (Witanto, 2013:128

Res judicata pro veritate habetur” Artinya, setiap Putusan pengadilan dianggap benar dan harus dihormati. Memeriksa dan mengadili adalah tugas seorang Hakim dan Hakim adalah officium nobile yaitu profesi yang mulia. Hakim dituntut memiliki moral dan integritas kemudian disusul dengan kapasitas intelektual yang memadai. Hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara yang dimaknai dalam dua hal yaitu bebas dari pengaruh tekanan siapapun dan apapun serta bebas melakukan penilaian terhadap perkara yang sedang diadili berdasarkan hati nurani dan akal sehat.

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili. Hakim dalam membuat keputusan harus memperhatikan segala aspek perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Hakim harus memahami dan mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, dan peraturan hukum yang berkenaan dengan perkara tersebut untuk diterapkan, baik mengenai ketentuan hukum yang ada dalam Peraturan Perundang-Undangan (Panuntun, 2015:6)

PERMA No. 1 Tahun 2020 ini merupakan pedoman pemidanaan bertujuan untuk mengurangi disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab. Pedoman pemidanaan ini jangan sampai menghilangkan kebebasan Hakim dan harusnya membantu Hakim untuk mewujudkan keadilan yang proporsional atau seimbang. Sifat dari Pedoman Pemidanaan ini tidak mengikat. Hakim diberi keleluasan (independensi) untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan dengan adanya diskresi berupa rentang-rentang pemidanaan.

Hakim dalam menangani suatu perkara tidak lepas dari pilihan yang dianut dan diyakininya. Hakim memiliki otoritas pada penentuan penjatuhan sanksi pidana tidak seorang pun yang dapat mempengaruhi kehendak Hakim dalam menentukan seberapa besar pidana kepada terdakwa. Tidak heran jika pada pemidanaan terjadi disparitas, karena ukuran keadilan Hakim tidak sama. Membatasi kebebasan Hakim dalam mengekspresikan logika hukum terhadap setiap kasus tertentu pada akhirnya hanya menghambat upaya proses mencari nilai keadilan yang sebenarnya walaupun kebebasan itu bukan berarti dapat dilakukan dengan sebebas bebasnya tanpa disertai dengan tanggung jawab secara yuridis. Metode penafsiran hukum dan penemuan hukum adalah upaya bagi Hakim untuk menggali makna hukum yang tersembunyi, maka Hakim harus menetapkan hukumnya sendiri dengan cara mengesampingkan aturan yang ada dan menciptakan hukum yang dipandang dapat memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi para pihak khususnya pada masyarakat. Hakim harus memiliki kebebasan Hakim yang penuh dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, Hakim bebas menentukan keyakinannya diri sendiri berdasarkan alat-alat bukti persidangan, diluar itu tidak boleh ada hal-hal yang mempengaruhi dirinya dalam menjatuhkan putusan (Supandriyo, 2019:254-258).

Setiap Undang-Undang pada dasarnya dibentuk dengan secara in abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk Undang[1]Undang hannya merumuskan aturan aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada dibawah penguasaannya, sedangkan Hakim menjalankan Undang-Undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit, yaitu hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara. Hakim dalam menjatuhkan Pidana harus berpedoman dengan peraturan Perundang-Undangan akan tetapi juga diberi kebebasan menentukan hukuman yang adil berdasarkan ukuran-ukuran keadilan menurut hati Nurani. Takaran pidana bukan merupakan hasil dari analisis yuridis dalam proses pertimbangan hukum akan berhenti pada saat menentukan seseorang bersalah atau tidak, sedangkan ketika terdakwa telah terbukti bersalah, maka penjatuhan pidana akan dilakukan berdasarkan takaran hati Nurani Hakim sesuai dengan keadilan yang diyakininya (Mansur, 2017:104).

Memutus perkara mula-mula Hakim berpegang pada Undang-Undang dan apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya maka harus menciptakan hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interpretasi dan melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum. Aliran penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan aliran yang dipergunakan di berbagai Negara termasuk Indonesia. Aliran penemuan hukum ini muncul, karena perkembangan dan pandangan terhadap hukum selalu ada perubahan-perubahan yaitu (Suhendak, n.d.:5-6).

  1. Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat yang terus berkembang.
  2. Pembuat Undang-Undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat atau proses perkembangan social, sehingga penyusunan Undang-undang selalu ketinggalan.
  3. Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang timbul, Undang-Undang tidak dapat terinci melainkan hanya memberikan pedoman umum saja.
  4. Undang-Undang tidak dapat sempurna, kadang-kadang dipergunakan istilah-istilah yang kabur dan Hakim harus memberikan makna yang lebih jauh dengan cara memberi penafsiran.
  5. Undang-Undang tidak dapat lengkap dan tidak mencakup segala[1] disana-sini selalu ada kekosongan dalam Undang[1]Undang maka Hakim harus menyusunnya dengan jalan mengadakan rekonstruksi hukum, argumentum a contrario.
  6. Hal yang patut dan masuk akal dalam kasus-kasus tertentu juga berlaku bagi kasus lain yang sama.

Kebebasan Hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara telah dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Prinsip rule of the law dalam praktik dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim dalam perkara pidana dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan berbagai hal yaitu aspek keadilan, kepastian hukum dan aspek manfaat. Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bebas dari segala pengaruh manapun yang dapat mempengaruhi keyakinan dan rasa keadilannya. Memiliki kebebasan bukan berarti kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan Hakim tetap.

harus mengacu pada hukum atau Peraturan Perundangan yang berlaku. Hakim tidak boleh mengorbankan kepentingan hukum pencari keadilan melalui penyalahgunaan kebebasan Hakim. Hakim juga harus dapat memahami makna kebebasan peradilan (judicial independence), sehingga tidak melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya yang mengakibatkan tidak berlaku adil.

Kebebasan Hakim tidak boleh membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku Hakim semacam ini akan menempatkan peradilan dan Hakim tersebut hukum dan penyelesaian serta putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan kemauan Hakim yang bersangkutan. Prinsip hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya putusan Hakim harus dianggap benar dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. sehingga dalam proses penegakan hukum serta menjatuhkan putusan Hakim tidak bisa lain selain berlaku adil (Haryono, 2017:5).

Putusan Hakim diharapkan tidak boleh melihat hanya dari segi Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi juga diharapkan harus mempertimbangan rasa keadilan dan kemanfaatan demi penegakan hukum yang baik. Paradigma berpikir Hakim tersebut selaras dan sejalan dengan Gustav Radbruch, seorang Pakar hukum menyatakan ada 3 nilai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Ketiga unsur dasar hukum diharapkan bisa didapatkan menjadi secara bersama-sama. Kendati demikian timbul pertanyaan, apakah ini tidak menimbulkan masalah dengan kenyataan yang ada di masyarakat seringkali antara kepastian dan keadilan berbenturan atau berbenturan antara kemanfaatan dan kepastian.

Hakekatnya hubungan ketiga nilai dasar diantara ketiga nilai dasar terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan. Contohnya kepastian hukum maka sebagai nilai segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan kesamping.

Menurut Radbruch, jika terjadi ketegangan antara nilai-nilai dasar tersebut, kita harus menggunakan dasar atau asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada nilai keadilan, baru nilai kegunaan atau kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Radbruch menempatkan nilai keadilan lebih utama daripada nilai kemanfaatan dan nilai kepastian hukum dan menempatkan nilai kepastian hukum di bawah nilai kemanfaatan hokum (Sova, 2013:4)

Mungkin Anda Menyukai

WhatsApp chat