Pasal 49 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tengang Peradilan Agama, menyatakan bahwa “wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga / badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia”.Dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b disebut menjadi kewenagan Peradilan Agama apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam. Ketentuan “yang dilakukan berdasarkan hukum Islam telah dihapus dari ketentuan wasiat yang terdapat di dalam Pasal 49 huruf c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tengang Peradilan Agama.
Oleh karena itu, sengketa yang terjadi atas dasar wasiat menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama, dilakukan berdasarkan hukum Islam maupun dilakukan berdasarkan hukum lain yang berlaku di Indonesia, sepanjang subjeknya orang Muslim atau bukan muslim yang telah menundukkan diri secara sukarela kepada ketentuan hukum Islam. Namun demikian, kalau diperhatikan bentuknya yang terdapat dalam Hukum Islam yang dilakukan secara tertulis tidak bertentangan dengan ketentuan pembagian wasiat yang terdapat dalam hukum Perdata, yaitu Opanbaar testament, Olographis testament dan Testament rahasia atau tertutup (R. Subekti, 1989: 109-112).
Dengan demikian, sepanjang wasiat tersebut dilakukan secara tertulis, maka praktik wasiat secara Islam tidak berbeda dengan testament yang datur dalam Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa : “Surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang membuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia”. Khusus mengenai wasiat dalam Hukum Islam diatur dalam Pasal 194 s.d 209 KHI.