Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah Daerah dalam Perspektif Administrasi Negara

Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah Daerah dalam Perspektif Administrasi Negara

Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah Daerah dalam  Perspektif Administrasi Negara

Otonomi daerah sudah pernah dibicarakan pada saat sidang BPUPKI dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang pernah dikemukakan oleh Moh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, dalam sidang tersebut M. Yamin mengatakan : Negara, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan dalam Pangreh Praja.[1]

Dalam pembukaan UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai pemberian pelayanan kepada warga negara secara umum serta untuk mencapai cita-cita nasional, salah satu landasan pemerintah dan penyelenggaraan negara adalah dengan cara penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah itu sendiri. Prinsip otonomi daerah lahir karena keyakinan bahwa tidak semua urusan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan ada berbagai urusan-urusan pemerintah yang lebih baik dan efektif jika dilakukan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan pemerintah pusat.

Selain itu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968 juga memuat tentang pemerintahan daerah, namun pada masa orde baru Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968 tidak lagi sesuai dengan perkembangan politik yang dianut pada waktu itu. Sehingga perlu adanya suatu perubahan undang-undang yang dimungkinkan dapat mengatasipasi keadaan politik yang semakin berkembang. Pada tahun 1974 menteri dalam negeri Amir Mahmud mengusulkan kepada DPR untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang yang baru, Di zaman orde baru kita memiliki Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam Undang-Undang ini dianut konsep otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.[2]

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 meninggalkan prinsip “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” dan diganti dengan prinsip “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “istilah seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecendrungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemerintah otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Garis Besar Haluan Negara.[3]

Meskipun Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 telah memberikan peluang dalam penerapan otonomi daerah namun Undang-Undang tersebut dirasakan masih sangat otoriter mengingat peranan pemerintah pusat begitu menonjol baik dalam pengaturan daerah bahkan dalam pemilihan kepala daerah, terlebih kebijakan yang berhubugan dengan pendapatan daerah, yang dirasakan tidak seimbang. Selain itu dalam batang tubuh konstitusi memuat tentang adanya pemerintah daerah, namun pemerintah daerah pada orde lama maupun orde baru belum bisa merealisasikan dengan sempurna sesuai dengan harapan bangsa dan Negara Indonesia.

Namun pasca runtuhnya masa orde baru dan datangnya era reformasi membawa dampak yang sangat positif, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pada amandemen pertama pada tahun 1999 mengubah sebagian besar sistem pemerintahan yang semula penuh dengan otoriter menjadi konstitusi yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Dengan diamandemennya UUD Tahun 1945 memiliki sejarah tersendiri dalam menerapkan otonomi mengingat UUD sebelumnya memuat hanya satu pasal saja tentang otonomi daerah, namun pasca amandemen ketentuan tentang otonomi atau pemerintah daerah menjadi 3 Pasal dengan 11 ayat, yaitu Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. Pasca amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lahirlah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini merupakan wujud nyata dalam mengimplementasikan Pasal 18, 18A dan 18B UUD Tahun 1945 yaitu amanat untuk melahirkan penyelenggaraan sistem pemerintahan yang baru yang dikenal dengan Otonomi Daerah. Pelaksanaan sistem otonomi daerah masih terdapat beberapa kendala yang terjadi, baik tentang kewenangan, hak, serta kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sehingga pada tatanan pelaksanaannya belum mendapatkan batasan-batasan yang jelas meskipun dalam undang-undang otonomi daerah menyebutkan kewenangan pemerintah pusat yang tidak dapat di lakukan oleh pemerintah daerah.

Bertolak ukur pada pasca amandemen memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi legeslatif untuk membuat undang-undang tantang pemerintah daerah yang selama ini belum bisa terealisasikan, untuk itu dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, undang-undang ini mengatur tentang sistem desentralisasi yang begitu luas kepada daerah sehingga mengancam sitem negara kesatuan, pelaksanaannya masih terdapat masalah-masalah yang dapat merusak tatanan otonomi. Sehingga perlu adanya perubahan, yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah. Dalam undang-undang tentang Pemerintah Daerah, memberikan perhatian yang khusus terhadap otonomi daerah, didalam mengatur masing-masing daerah. Hal-hal yang diatur menyangkut berbagai aspek, baik tentang tata cara pemilihan kepala daerah, DPRD,  pembuatan Peraturan Daerah, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengatur berbagai hal yang terkait tugas dan wewenang yang harus dijalankan.

Sejauh ini pengaturan yang diberlakukan didalam peraturan undang-undangan otonomi daerah terkait dengan kewenangan pemerintah pusat menyangkut politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Hal ini berarti bahwa pada prinsipnya, semua urusan bersifat otonom atau desentralisasi, terkecuali 5 (lima) hal tersebut yang disebutkan dalam undang-undang yang hanya memebrikan kewenangan sesuatu urusan sebagai urusan pemerintah pusat. Prinsip pengaturan demikian memang dapat disebut bersifat federalistis karena konsep kekuasaan asal atau sisa (residual power) justru seolah-olah berada di pemerintah daerah. Prinsip demikian itu memang dikenal di lingkungan negara-negara federal.[4]

Namun dalam penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah, masih ditemukan ketidak sesuaian antara apa yang menjadi kewenangan yang telah diatur dalam undang-undang dengan pelaksanaannya. Selain itu masih terjadi tarik-menarik dan saling tuding akan wewenang antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, terlebih dicampur adukkan dengan adanya kepentingan politik yang makin menonjol. Meskipun Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah memuat pengaturan, namun hal tersebut masih dalam dimensi multi tafsir yang hingga saat ini tidak mengatur secara lengkap, jelas dan pasti akan seperti apa otonomi yang sebenarnya, untuk itu perlu adanya pengkajian tentang “Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”.

[1] Ni’matul Huda, Otonomi daerah Filosofi, Ssejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 1.

[2]  Hutabarat Ramly, 2005, Gagasan dan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Indonesia, Legislasi Indonesia, Volume 2, 1 Hal:1

[3]  Syaukani, et. al., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), hal :142.

[4] Jimly Assahiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal :279.

Demikian Makalah : Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah Daerah dalam Perspektif Administrasi Negara

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

WhatsApp chat