Pengantar Hukum Acara Perdata
Hukum pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi serta menjadi pedoman bagi masyarakat di Indonesia. Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang atau aturan hukum yang tidak tertulis. Hukum yang memuat peraturan dan mengatur kepentingan seseorang disebut sebagai hukum materiil, dimana hukum tersebut dijadikan pedoman seseorang dalam berbuat atau tidak berbuat di dalam kehidupan masyarakat. ketentuan-ketentuan seperti: “Siapa yang mengabil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum… dan sebagainya”, “Siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”. Dari ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa hukum bertujuan sebagai pedoman masyarakat demi melindungi hak-hak atau kepentingan seseorang.
Hukum ini berlaku untuk siapa saja, jadi siapapun yang hidup di Indonesia berhak mematuhi dan melaksanakan hukum. karena pada dasarnya hukum itu tidak hanya sebagai pedoman yang dilihat, dibaca atau hanya diketahui saja. Bahkan di kehidupan sehari-hari, kita sering melakukan aktifitas yang berkaitan dengan hukum. Jadi, hukum itu tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang, pejabat, atau ahli hukum saja, melainkan siapapun berhak melaksanakan hukum.
Hukum materiil perdata biasanya bisa dilakukan hanya oleh pihak-pihak yang bersangkutan, artinya tanpa menghadirkan pihak atau pejabat yang berwenang atau instansi resmi. Namun, dalam peristiwa seperti ini, biasanya hak-hak perseorangan dalam prosentase perlindungan hukum tidak ada. Artinya, ketika terjadi pelanggaran dalam sebuah hukum perdata, pastinya ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Maka dari itu, hukum materiil perdata yang telah dilanggar haruslah dipertahankan atau ditegakkan.
Selain adanya hukum materiil perdata, hukum perdata juga memiliki hukum formil, yaitu hukum yang berisi aturan-aturan hukum lain di samping hukum materiil. Maksudnya, dalam pelaksanaan hukum materiil perdata, khususnya hukum-hukum materiil yang terdapat pelanggaran atau untuk mempertahankan keberlangsungan hukum yang adil dan memenuhi hak-hak perorangan, tentunya diperlukan peraturan hukum yang lain, yang disebut hukum formil atau Hukum Acara Perdata.
Hukum formil atau hukum acara perdata pada dasarnya hanya mengatur pada proses pelaksanaan hukum materiil perdata, jadi hukum formil ini tidak membebani dalam hak dan kewajiban seperti yang terdapat dalam hukum materiil perdata. Namun, tujuan dari hukum formil ini adalah mempertahankan dan menegakkan kaidah hukum materiil perdata demi melindungi hak-hak perseorangan.
Hukum acara perdata adalah hukum yang mangatur jalannya proses persidangan sebagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Dengan kata lain, hukum acara perdata adalah hukum yang berlaku dalam proses pelaksanaan hukum materiil melalui perantara hakim. Hukum acara perdata juga mengatur bagaimana tata cara dalam melakukan pengajuan tuntutan hak, memeriksa dan juga memutusnya dalam sebuah perkara. Tuntutan dalam hal ini, tidak lain merupakan tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum seseorang yang diberikan atau dilakukan oleh pengadilan demi melindungi dari perbuatan “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri. Maksud dari tindakan menghakimi sendiri adalah tindakan yang berdasarkan atas kemauan diri sendiri, tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang bersifat memaksa sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak atau orang lain. Maka dari itu, adanya hukum formil atau hukum acara perdata ini, bertujuan untuk tidak membenarkan tindakan menghakimi sendiri demi memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.
Seperti contoh dalam kehidupan sehari-hari, ada pohon yang rantingnya menjalar hingga ke pekarangan tetangganya, tetangganya ini lalu memotong buah yang tumbuh dari pemilik pohon atau tetangganya, padahal si pemilik pohon tidak mengizinkan poho bauh tersebut diambil (Pasal 666 ayat 3 B.W). Tindakan ini merupakan tindakan menghakimi sendiri yang mungkin dibenarkan oleh pihak satu, namun di sisi lain, pihak lain tidak mengizinkan tindakan tersebut. Untuk menghindari perbuatan menghakimi sendiri, paling tidak pihak terseebut meminnta izin terlebih dahulu kepada pemilik pohon.
Terdapat tiga pendapat terkait perbuatan menghakimi sendiri. Menurut Van Boneval Faure tindakan menghakimi sendiri ini sama sekali tidak dibenarkan, alasannya adalah hukum acara perdata telah menyediakan upaya-upaya hukum untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan atau upaya-upaya yang berada di luar tersebut, dianggap dilarang. Pendapat kedua dari Cleveringa, bahwa perbuatan menghakimi sendiri tetap tidak dapat dibenarkan, karena jika perbuatan tersebut dilakukan, maka akan menimbulkan suatu perbuatan yang melanggar hukum, dan tentunnya harus membayar kerugian. Pendapat ketiga dari Rutten, bahwa tindakan menghakimi sendiri pada asanya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila peraturan yang ada tidak cukup meemberi perlindungan, maka secara tidak tertulis tindakan tersebut dibenarkan.
Di dalam hukum acara perdata tidak kita jumpai ketentuan yang tegas melarang tindakan menghakimi sendiri. Larangan eigenrichting terdapat dalam putusan MA 10 Desember 1973 No. 366 K/Sip/1973 (Chidir Ali 1985: 49). Kecuali bahwa tindakan menghakimi sendiri itu merupakan perbuatan melawan hukum, juga dapat dihukum (lihat antara lain Pasal 167 dan 406 KUHP).
Dalam pencegahan eigenrichting terdapat dua macam cara , yaitu tuntutan yang mengandung sengketa atau yang biasa disebut sebagai gugatan yang biasanya minimal terdiri dari dua pihak, dan yang kedua adalah tuntutan yang tdak mengandung sengketa atau biasanya disebut sebagai permohonan yang terdiri dari minimal satu pihak saja.
Pada dasarnya peradilan juga terbagi menjadi dua, yaitu peradilan volunter (voluntaire juristictie) atau yang biasa disebut sebagai “peradilan sukarela” atau juga “peradilan yang tidak sesungguhnya”. Kemudian ada juga peradilan contentius (contentieuse jurisdictie) atau “peradilan yang sesungguhnya”. Dalam hal ini tuntutan yang tidak mengandung sengketa masuk dalam peradilan volunter, sedangkan tuntutan yang mengandung sengketa masuk dalam peradilan contentieus.
Terdapat perbedaan dari peradilan volunter dan peradilan contentieus, yaitu di dalam peradilan volunteer pada umumnya berisi persoalan tentang perkara yang oleh undang-undang ditentukan dan harus disertakan permohonan, dan tidak berlakunya peraturan tentang hukum pembuktian dan BW buku IV. Pada umumnya keberlakuan HIR (Rbg) hanya digunakan di sistem peradilan contentieus, karena menurut yurisprudensi HR maka asas terbuka dan pintu terbuka yang berisi alasan-alasan hanya berlaku bagi peradilan contentieus saja, bukan peradilan volunter.
HIR membedakan antara tuntutan perdata (Pasal 118 HIR, 142 Rbg) yang lebih dikenal dengan gugatan dan permohonan. Contoh tuntutan hak yang merupakan permohonan antara lain permohonan penetapan pengampu (Pasal 229 HIR, 263 Rbg), permohonan pemisahan boedel atau harta (Pasal 236 a HIR).
Dari apa yang telah diuraikan di atas dapatlah kita simpulkan bahwa objek dari ilmu pengetahuan hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan hukum materiil perdata itu terjadi dengan peradilan. Yang dimaksudkan dengan peradilan di sini ialah pelaksanaan hukum dalam hal konkret adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”.
Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedang dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari putusan. Hukum acara perdata bukanlah sekadar merupakan pelengkap, tetapi mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil.
Tidak mungkin hukum perdata materiil itu berdiri sendiri lepas sama sekali dari hukum acara perdata. Tidak ada gunanya ada hukum perdata materiil apabila tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan, dan untuk realisasinya itu diperlukan hukum acara perdata. Sebaliknya, hukum acara perdata sebagai upaya untuk menjamin dilaksanakannya hukum perdata materiil, tidak mungkin berdiri sendiri tanpa hukum perdata materiil Akan tetapi, hukum perdata materiil tidak mungkin ditegakkan tanpa hukum acara perdata. Hukum perdata materiil hanya dapat dipertahankan dan ditegakkan melalui peradilan dengan hukum acara perdata.
Pada hakikatnya hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya. la pada hakikatnya tidak perlu tahu akan hukumnya. Untuk mengetahui hukumnya ia dapat menanyakan kepada ahlinya. Pada umumnya hukum perdata materiil membuka kemungkinan untuk penafsiran. Tidak demikian halnya, dan tidak demikian seharusnya dengan hukum acara perdata, karena hukum acara perdata pada asasnya bersifat mengikat.
Oleh karena itu, hakim sebagai stabilisator hukum harus sungguh- sungguh menguasai hukum acara perdata. Kurangnya pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya atau hukum acara perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara merupakan salah satu faktor penghambat jalannya peradilan.
Pengaruh hukum acara perdata di dalam praktik di luar peradilan tidak kecil. Kalau ada orang hendak membuat surat perjanjian di bawah tangan, dapatlah dikatakan selalu diikutsertakan dua orang saksi yang ikut serta menandatangani surat perjanjian tersebut. Di samping itu, surat perjanjian tersebut masih dibubuhi materai. Hal ini sudah merupakan kebiasaan dalam masyarakat. Bahkan kebanyakan tidak menyadari lagi maksud dari adanya dua orang saksi dan materai tersebut, tetapi dianggap demikianlah seharusnya. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk mengikutsertakan dua orang saksi dalam pembuatan suatu surat perjanjian di bawah tangan. Tidak pula ada pasal yang menetapkan bahwa surat perjanjian di bawah tangan harus dibubuhi materai. Tanda tangan dua orang saksi dan materai bukanlah syarat sahnya perjanjian. Ini adalah suatu persiapan, kalau-kalau di kemudian hari menjadi sengketa di muka pengadilan, persyaratan yang diminta oleh hukum acara perdata telah terpenuhi: dua orang saksi adalah jumlah minimal yang diminta oleh hukum acara perdata untuk pembuktian (Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW) yang sudah tentu masih harus dipanggil di muka pengadilan. Sedang materai sebagai pemenuhan pajak bagi surat-surat yang diajukan sebagai alat bukti dalam perkara perdata untuk memenuhi Pasal 2 1) a Undang-undang No. 13 tahun 1985. Demikian pula seorang kreditur akan mita surat tanda pengakuan uang atau kwitansi dari debitur, yang akan menjamin tuntutannya apabila menjadi sengketa di pengadilan nanti.
SUMBER: PENGANTAR HUKUM ACARA PERDATA dikutip dari buku HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H)