Ketentuan dan Cara Pembagian Harta Bersama Oleh: Rahmat Raharjo, SHI., MSI (Hakim PA Bajawa)
A. PENDAHULUAN.
Salah satu akibat hukum yang timbul dari adanya sebuah perceraian adalah pembagian harta bersama (gono-gini) antara suami isteri. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa setiap harta yang diperoleh selama masa perkawinan dijadikan sebagai harta bersama tanpa membedakan siapa yang bekerja atau memperoleh harta tersebut dan diatas namakan siapa, selama harta tersebut bukan merupakan harta bawaan, hadiah atau warisan dan atau tidak ada perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan harta bersama.
Sementara itu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mesraini dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menemukan data bahwa secara umum majelis hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara gugatan pembagian harta bersama tidak keluar dari peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan membagi rata (seperdua bagian) harta bersama di antara suami istri.
Aturan tersebut tidak pelak menimbulkan banyak masalah yang terjadi dalam praktik di Peradilan Agama karena tidak sedikit yang menilai dan berasumsi bahwa pembagian harta bersama tersebut tidak memenuhi rasa keadilan jika dibagi sama rata sementara salah satu pihak telah melakukan perbuatan yang merugikan pihak lainnya karena tidak menjalankan apa yang telah menjadi kewajibannya terlebih dalam jangka waktu yang lama.
Berdasarkan asumsi tersebut, penulis mencoba untuk melakukan telaah atas peraturan harta bersama khususnya tentang besaran bagian masing-masing pihak dengan pendekatan yuridis yaitu dengan melihat hak isteri yang bersifat kebendaan (materi) yang timbul juga akibat adanya hubungan perkawinan dalam beberapa ketentuan peraturan lain.
B. PENGERTIAN HARTA BERSAMA DALAM HUKUM POSITIF DAN FIQH.
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 1 huruf (f) dengan tegas menyebutkan:
“Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.”
Dalam Islam sendiri baik al-Qur’an maupun Hadis tidak menyinggung atau mengatur secara langsung tentang konsep harta bersama. Para ulama klasik termasuk al-imam al arba’ah pun tidak pernah membahas harta bersama sebagaimana konsep yang dipahami dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Menurut para fuqoha, suami memiliki hartanya sendiri dan isteri juga memiliki hartanya sendiri. Sebagai kewajibannya, suami memberikan sebagian hartanya itu kepada isteri atas nama nafkah, yang selanjutnya digunakan isteri untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
C. DASAR HUKUM HARTA BERSAMA.
Alas hukum harta bersama diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pasal 35 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan.
2. Pasal 1 poin (f) KHI tentang definisi harta bersama sebagaimana telah disebutkan di atas;
3. Pasal 119 KUHperdata: bahwa sejak dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi menyeluruh antara suami isteri, sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama masa perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.
D. ANALISA.
1. Tinjauan Yuridis Harta Bersama.
Sebelum membahas lebih jauh, satu hal yang perlu kita pahami dan sepakati bersama adalah bahwa oleh karena konsep pembagian harta bersama sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait adalah produk undang-undang dan dalam baik al-Qur’an maupun Hadis tidak pernah disinggung, maka konsep pembagian seperdua sebagaimana ketentuan dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bukanlah ketentuan yang qath’i dalam syariah sehingga sangat memungkinkan untuk menerima perubahan.
Pasal 97 KHI yang menyatakan bahwa Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena memang pemahaman tentang kedudukan istri dalam KHI adalah seimbang dengan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (vide pasal 79 ayat (2) KHI), sehingga konsekuensi hukumnya besaran kepemilikan atas harta bersama juga seimbang.
Kaitannya dengan pembagian harta bersama tersebut, seorang hakim dalam mengadili dan memeriksa perkara harus dapat mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice).
Aspek yuridis merupakan aspek utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undang-undang harus memahami UU dengan mencari UU yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah UU tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan. Di lain sisi, Hakim juga harus memahami undang-undang sebagai suatu sistem dimana antara satu peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan yang lainnya. Menurut Lon L. Fuller dengan pendapatnya tentang principles of legality bahwa salah satu asas hukum yang harus dipenuhi sebuah sistem hukum adalah adanya kesinkronan antara satu aturan hukum dengan yang lainnya.
Oleh karena itu untuk melihat apakah ketentuan pembagian harta bersama tersebut sudah memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, mari kita lihat beberapa peraturan terkait dengan kedudukan dan hak kebendaan isteri terhadap suaminya yang timbul setelah adanya perceraian dalam beberapa peraturan:
a. Hak atas 1/3 Gaji PNS.
PP nomor 03 tahun 1983 sebagaimana diubah dengan PP nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 8 menyebutkan:
(1). Apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.
(2). Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk PNS pria, sepertiga untuk bekas isteri dan sepertiga untuk anak.
(3). Apabila dari perkawinan tersebut tiada ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh PNS pria kepada bekas istri ialah setengah dari gajinya.
(4). Pembagian gaji kepada bekas isteri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena isteri berzina, dan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau isteri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau isteri telah meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut.
Pasal (4) di atas menegaskan bahwa hak seorang isteri untuk mendapatkan 1/3 gaji hapus jika perceraiannya diakibatkan oleh karena isteri telah melakukan perbuatan yang telah merugikan pihak suami.
b. Hak Nafkah Iddah.
Inpres nomo 01 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam, pasal 149 poin (b) menyatakan:
“Bilamana perkawinan putus karena cerai talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.”
Yang perlu digaris bawahi dari pasal tersebut di atas adalah nusyuznya seorang isteri dapat menghalanginya atau mengguggurkan haknya untuk mendapatkan haknya yang timbul dari akibat perceraian.
c. Hak Waris.
Pasal 180 KHI:
“Janda mendapatkan separo bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.”
Sementara itu pasal 173 menyebutkan:
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah BHT dihukum karena:
1) Dipersalahkan telah membunuh dan mencoba membunuh atau penganiayaan berat pada pewaris.
2) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dalam hal waris pun, hak mewarisi harta peninggalan pasangannya yang telah meninggal menjadi gugur jika salah satu suami atau isteri yang menjadi ahli waris melakukan perbuatan yang merugikan pasangannya.
Dari beberapa pasal di atas yang terkait dengan hak salah seorang suami atau isteri yang bersifat materi dapat gugur jika melakukan perbuatan yang merugikan pihak lain. Hal inilah yang tidak ditemui dan diakomodir dalam ketentuan harta bersama jika nyata-nyata salah satu pihak melakukan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pihak suami baik lahir maupun batin. Hal ini tentu kontra produktif terhadap tujuan dibentuknya undang-undang dalam melindungi kepentingan manusia. Artinya jika ditinjau dari segi aspek yuridis secara lebih mendalam, konsep pembagian harta bersama dalam aturan tersebut di atas tidak memenuhi asas kepastian hukum karena tidak sinkronnya pembagian harta bersama dengan peraturan lainnya dalam hal jika terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh istri, dan dalam kasus tertentu tidak memenuhi rasa keadilan yang merupakan salah satu dari tiga nilai dasar hukum yang paling diprioritaskan menurut Gustav Radbruch.
2. Harta Bersama dan Wanprestasi.
Pada hakekatnya ikatan perkawinan adalah sebuah hubungan perdata antara suami isteri di mana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi dan mendapatkan prestasi yang muncul sebagai akibat adanya ikatan perkawinan (lahir karena undang-undang). Sementara itu, dalam sebuah perikatan, seseorang dapat dikatakan wanprestasi (ingkar janji) jika:
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2. pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. peralihan resiko;
4. membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Dalam sebuah ikatan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan prestasi apa saja yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang diantaranya tertuang dalam pasal 77:
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat;
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama;
Jika dipahami secara lebih mendalam, maka ayat terakhir sebenarnya secara tegas sudah mengakomodir kepentingan salah satu pihak suami atau isteri jika pasangannya melakukan wanprestasi (ingkar janji) dengan memberikan upaya hukum berupa gugatan kepada Pengadilan Agama, dan dalam hemat penulis harus dipahami dan dibaca juga termasuk gugatan mengenai pembagian harta bersama secara lebih adil jika terdapat kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak suami atau isteri yang dapat merugikan pihak yang lain.
Sehingga wajar jika dalam putusan MA No. 266K/AG/2010, majelis hakim memberikan 3/4 bagian kepada isteri, dan sisanya (1/4 bagian) kepada suami karena berdasarkan bukti dan fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri.
3. Harta Bersama (Syirkah) dalam Perspektif Fiqh Muamalah.
Sementara itu, dalam perspektif fiqih muamalah, Kompilasi Hukum Islam menganalogikan harta bersama dengan akad syirkah (vide pasal 1 poin [f] Kompilasi Hukum Islam). Dalam Penjelasan Fatwa MUI nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah dijelaskan bahwa musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau kompetensi, expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Batasan tentang pembagian keuntungan dan risiko dalam akad syirkah sesuai kesepakatan tersebut adalah selama kedua belah pihak sudah memenuhi prestasinya secara wajar. Namun jika ternyata terbukti salah satu pihak melakukan perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan kerugian terhadap usaha bersama tersebut, tentu pihak lain tidak dapat dibebani untuk ikut menanggung kerugian tersebut. Inilah yang dalam hukum perjanjian, termasuk perjanjian syariah, disebut keharusan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan debitur dengan kerugian kreditur. Dengan kata lain debitur tidak dapat dibebani ganti kerugian (tidak dapat dimintai pertanggungjawaban/ dhaman) apabila kerugian yang dialami oleh kreditur tidak disebabkan oleh kesalahan debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya.