Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (DOMESTIC VIOLANCE)
By. RISKA ALKADRI, SH., MH
PENDAHULUAN
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Bab 1 Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004).
KDRT telah diatur di dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan PP No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Apabila kita lihat di dalam konsideran bagian menimbang UU No. 23 Tahun 2004, maka dapat kita ketahui bahwa tujuan dari pembentukan UU ini adalah untuk menjamin rasa aman dan bebas dari segala kekerasan sebagaimana yang telah dijamin di dalam Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan ini merupakan bentuk pelanggaran HAM dimana korbannya kebanyakan adalah perempuan.
UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari 10 Bab dan 56 Pasal. Adapun garis besar yang di atur di dalam Undang-Undang ini adalah:
Bab I TENTANG Ketentuan Umum
Bab II TENTANG Asas dan Tujuan
Bab III TENTANG Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Bab IV TENTANG Hak-Hak Korban
Bab V TENTANG Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat
Bab VI TENTANG Perlindungan
Bab VII TENTANG Pemulihan Korban
Bab VIII TENTANG Ketentuan Pidana
Bab IX TENTANG Ketentuan Lain-Lain
Bab X TENTANG Ketentuan Penutup
TUJUAN
Seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, penghapusan KDRT memiliki beberapa tujuan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
KATEGORISASI KDRT
Kemudian, apa saja yang masuk di dalam kategori kekerasan rumah tangga? Hal ini disebutkan di Pasal berikutnya yakni Pasal 5, bahwa kekerasan dalam lingkup rumah tangga meliputi empat cara:
a. kekerasan fisik; perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
b. kekerasan psikis; perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. kekerasan seksual; pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
d. penelantaran rumah tangga; penelantaran disini maksudnya adalah menelantarkan keluarganya padahal hal tersebut bertentangan dengan hukum atau perjanjian yang berlaku baginya atau melarang korban bekerja (ketergantungan ekonomi) yang mana perbuatan tersebut menyebabkan korban berada dalam kendali pelaku.
HAK-HAK KORBAN
Mengenai Hak-Hak Korban diatur di dalam Pasal 10 yakni diantaranya :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
UPAYA PREVENTIF KDRT
Pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan tindak pidana KDRT adalah Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Daerah. Dalam hal tindakan pencegahan, pemerintah dapat membuat kebijakan tentang Penghapusan KDRT, menyelenggarakan edukasi (pendidikan dan pelatihan), advokasi, melakukan komunikasi dan memberi informasi tentang KDRT dan Gender.
UPAYA REPRESIF KDRT
Upaya represif ini di atur di dalam Pasal 13, yakni:
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Mengenai upaya perlindungan disebutkan bahwa kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara kepada korban dalam waktu 1×24 jam sejak mengetahui dan mendapat laporan mengenai terjadinya tindak pidana KDRT (Pasal 16).
Salah satu hal yang unik dari UU ini adalah adanya ketentuan yang mengatur tentang Miranda Rules yakni pada Pasal 18 yang berbunyi, “Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korbanuntuk mendapat pelayanan dan pendampingan”.
UPAYA REHABILITASI KORBAN
Undang-Undang ini selain mengatur mengenai upaya preventif dan represif terhadap KDRT, juga mengatur mengenai pemulihan korban sebagaimana di atur di dalam Pasal 39. Pada Pasal ini, disebutkan bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :
a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping; dan/atau
d. pembimbing rohani.
Mengenai teknis upaya pemulihan ini diatur di dalam PP No. 4 Tahun 2006.
KETENTUAN PIDANA
Tindak Pidana Kekerasan Fisik, Psikis dan Kekerasan Seksual merupakan delik aduan. Meskipun pada bagian konsideran disebutkan bahwa korban KDRT kebanyakan adalah perempuan, akan tetapi di dalam UU ini tidak memposisikan korban adalah perempuan atau istri tetapi juga laki-laki atau suami.