Eksistensi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Dalam Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pelaksanaan sistem otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan yang lebih baik bagi Pemerintah Daerah khususnya dalam mengatur urusan daerah secara mandiri. Teralisasinya otonomi daerah yang saat di diselenggarakan tidak luput dari peran penting amandeman yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kontribusi yang lahir pasca amandemen adalah adanya pengaturan dan penerapan sistem yang baru dalam otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah saat ini, yang ditonjoklan adalah konsep desentralisasi bukan sentralisasi seperti pada masa orde baru yang di anggap otoriter, dimana urusan pemerintahan lebih dominan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah.
Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar melahirkan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah yaitu; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lahirnya undang-undang ini menjadi tonggak perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, agar dalam penyelenggaraan pemerintahan perlu dilakukannya desentalisasi.
Desentraliasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelftanding), bersifat otonomi (territorial ataupun fungsional).[1]
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de”=Lepas dan “Centrum”=Pusat. Jadi berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autosi=sendiri; nomos=Undang-undang dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Dalam perkembangannya di Indonesia otonomi itu selain mengandung arti “perundangan” (regeling), juga mengandung arti “pemerintahan” (bestuur). Oleh karena itu, dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas pula mengenai otonomi. Hal ini disebabkan kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan, apalagi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Selain pembagian dalam konteks kewenangan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah diikuti juga pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk itu pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam merencanakan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan terhadap penggunaan keuangan negara khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dalam melakukan pertanggung jawaban terhadap keuangan negara yang ada di daerah, pemerintah daerah tentu harus membuat laporan pertanggung jawaban dan transparansi terhadap penggunaannya.
Seiring berkembangannya sistem otonomi daerah, tentu dapat mengkawatirkan jika dalam pengelolaan atau penggunaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah tidak dilakukan pengawasan atau pemeriksaan oleh lembaga tententu yang bersifat independen, dalam hal ini keberadaan Badan Pemeriksa Kuangan (BPK) lah yang dapat menjawab persoalan tersebut. Keberadaan BPK sangatlah penting terutama dalam upaya melakukan kebijakan preventif agar pengelolaan keuangan negara berjalan berdasarkan peraturan yang berlaku.
Cikal bakal ide pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan berasal dari Raad van Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda. Beberapa negara lain juga mengadakan lembaga yang semacam ini untuk menjalankan fungsi-fungsi pemeriksaan atau sebagai external auditor terhadap kinerja keuangan pemerintah. Misalnya, di RRC juga terdapat lembaga konstutusional yang disebut Yuan Pengawas Keuangan sebagai salah satu pilar kelembagaan negara yang penting.[3]
Legitimasi yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, berkaitan erat dengan keuangan negara baik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintahh Daerah, BUMN, BI, maupun lembaga atau badan lain yang mana menggunkan keungan negara.[4]
Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang independen yaitu bebas dab mandiri.[5] Keberadaan Lembaga BPK merupakan tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (god government), dimana BPK memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan keuangan terhadap keuangan negara pada lembaga-lembaga negara yang menggunakan keuangan negara (publik). Kecenderungan membentuk lembaga-lembaga independen di satu sisi menjadi tidak terelakkan karena lembaga negara yang ada kinerjanya tidak memuaskan, keterlibatan dalam kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, serta ketidakmampuan bersikap independen dari pengaruh kekuasaan lainnya.[6]
Terkait dengan tugas pemeriksaan yang dilakukan BPK secara umum, secara khusus dalam pembahasan ini BPK berwenang melakukan pemeriksaan keuangan daerah meskipun di daerah menganut otonomi daerah. Dalam melakukan pemeriksaan tersebut BPK membentuk kantor perwakilan yang ada disetiap provinsi sebagai perpanjang tangan BPK pusat dalam melakukan pemeriksaan keuuangan daerah khususnya dalam melakukan pemeriksaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan yuridiksi masing-masing kantor perwakilan BPK yang ada.
Guna mewujudkan pelaksanaan pengawasan yang profesional, obyektif, transparan, independen dan mewujudkan citra positif pejabat pengawas pemerintah dan mutu pengawas, maka dalam melaksanakan tugas pengawasannya pejabat pengawas pemerintah tersebut wajib mematuhi norma pengawasan dan kode etik. Norma pengawas adalah patokan, kaidah atau ukuran yang harus diikuti oleh pejabat pengawas pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dan pihak/pejabat lain yang terkait dengan pengawasan.[7]
Dalam kontek pelaksanaan tugas dan wewenang melakukan pengawasan tentu BPK dibutuhkan dalam negara yang mengannut paham demokrasi, mengingat prinsip penyelenggaran pemrintahan adalah saling mengawasi (checks and Balance) antar lembaga negara yang ada. Fungsi dari pada checks and Balance adalah upaya dalam melakukan sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Mekanisme pengawasan dapat dilakukan baik secara vertikan maupun horizontal pada lembaga negara yang ada, dalam hal ini berkaitan erat dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan BPK pusat dan BPK perwakilan yang ada dimana dapat melaksanakan tugas berdasarkan yurisdiksi yang diberikan.
Meskipun keberadaan BPK telah diatur dengan jelan dalam peraturan perundangan (hukum positif) yang ada, namun bagaimanakan Eksistensi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam upaya melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Keuangan Negara terutama dalam melakukan pengawasan terhadap Keuangan Daerah? Apakah keberadaan BPK dipandang sebagai lembaga yang masih terus digalakkan ataukah BPK tidak memberikan kontribusi yang sebagaimana mestinya yang diharapkan oleh kita semua dalam melakukan pengawasan terhadap keuangan negara.
[1] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, cetakan …. (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 85.
[2] Juanda, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Cetakan Kedua (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm 21-22)
[3] Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm 142-143.
[4] Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK
[5] Lihat Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasca Amandemen
[6] Ni’matul Huda, Lembaga … op. Cit., hlm 169.
[7] Basuki, Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm 244-245.
Demikian: Eksistensi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Dalam Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah