Bidang Hibah Islam
Dalam penjelasan Pasal 49 huruf d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan “Hibah adalah pemberian sesuatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 huruf d ini juga berbeda dengan ketentuan yang terapat dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan “Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.” Ini berarti bahwa, meski hibah dilakukan tidak berdasarkan hukum Islam, sepanjang subjeknya beragama Islam atau non muslim yang menundukkan diri secara sukarela kepada Hukum Islam, maka sengketanya diselesaikan di Peradilan Agama.
Terminologi lain mengenai hibah dapat dilihat dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, huruf g yang menyebutkan, bahwa “Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”. Selanjutnya ketentuan mengenai regulasi dan pengaturan hibah dapat dilihat dalam Pasal 210 s.d. 214 Kompilasi Hukum Islam.
Terminologi hibah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat dalam pasal 166 yang menyebutkan, bahwa “Hibah adalah suatu persetujuan dengan nama si penghibah semasa hidup dengan cara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu bends guna kepentingan si penerima hibah”.
Kalau diperhatikan ketentuan hibah ini yang terdapat dalam Hukum Islam atau BW, maka akan dilihat, bahwa sepanjang hibah dilakukan secara tertulis dapat dikatakan tidak ada perbedaan antara hibah menurut BH dengan hibah menurut Hukum Islam. Namun demikian, hibah dalam hukum Islam dapat dibenarkan secara lisan dan tulisan sama ada bentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan, sedangkan hibah berdasarkan BW terdapat keharusan dilaksanakan dengan akta notaris. Demikian penjelasan kami mengenai Hibah.