Apa itu Perbuatan Melawan Hukum ?

Apa itu Perbuatan Melawan Hukum ?
Apa itu Perbuatan Melawan Hukum ?

Perbuatan melawan hukum adalah terjemahan dari bahasa belanda “Onrechtmatige daad” yang disebutkan dalam pasal 1365 BW (Burgerlijk Wetboek) atau KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berbunyi :

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut

Setelah perkara antara Lindenbaum melawan Cohen tahun 1919, Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) melalui arrest tidak lagi mengartikan perbuatan melawan hukum secara sempit melainkan diartikan secara luas yaitu sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak subjektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaidah kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat.

Tujuan dari tuntutan perbuatan melawan hukum adalah untuk mendapatkan ganti kerugian, dan agar dapat menuntut ganti kerugian tersebut tuntutan perbuatan melawan hukum harus memenuhi 5 unsur yaitu  :

    • Adanya perbuatan
    • Perbuatan tersebut harus melawan hukum
    • Timbul kerugian
    • Hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian
    • Adanya kesalahan

  • Perbuatan (daad)

Istilah daad (perbuatan) dalam Pasal 1365 KUH Perdata dimaknai secara luas baik postif maupun negati. Perbuatan dalam arti positif bermakna berbuat sesuatu sedangkan dalam arti negatif bermakna tidak berbuat sesuatu. Seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum jika ia melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Namun ia juga dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ketika ia mengabaikan kewajiban hukumnya dengan tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1366 KUH Perdata membedakan perbuatan (daad) dalam arti negatif dan kelalaian, yang berbunyi:

“Setiap orang bertanggungjawab, tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”

Keduanya-pun juga diatur dalam pasal yang berbeda yang artinya kelalaian dalam pasal 1366 berbeda dari perbuatan (daad) yang diatur dalam Pasal 1365. Namun demikian setelah Pasal 1365 ditafsirkan secara luas, daad selain dapat diartikan bermakna positif dan negatif, daad sebagai kelalaianpun dapat dituntut dengan Pasal 1365.

  • Melawan hukum

Berdasarkan arrest 1919, Hoge Raad menyatakan bahwa :

perbuatan melanggar hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan di dalam masyarakat baik terhadap diri maupun barang orang lain.

Lebih lanjut Rosa Agustina memaparkan bahwa dapat diklasifikasikan sebagai melawan hukum diperlukan 4 syarat, yaitu perbuatan tersebut  :

  1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

  1. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

Melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Hak subjektif dapat dibagi dua, yaitu:

1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;

2) Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya.

  1. Bertentangan dengan kesusilaan

Bertentangan dengan kaidah kesusilaan bermakna bertentangan dengan nilai-nilai moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum. Moral hanya menunjukkan norma-normanya kepada manusia sebagai mahluk. Sedangkan susila mengajarkan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang baik.

  1. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian

Yang dimaksud adalah bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Dalam hal ini harus dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan  layak. Yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah:

    • Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;
    • Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
  • Timbul Kerugian

Kerugian ini dapat bersifat material dan ideal/immaterial. Kerugian material (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian (nyata) yang diderita penderita dan keuntungan yang diharapkan. Sedangkan kerugian ideal meliputi ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

Berbeda dengan ganti kerugian di dalam wanprestasi yang diatur secara jelas dalam Pasal 1243 KUH Perdata. BW tidak mengatur secara jelas kerugian yang timbul akibat PMH, namun penggantian kerugian akibat wanprestasi dapat diterapkan (secara analogis) ke dalam perbuatan melawan hukum.

  • Kesalahan

BW tidak membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa). Jadi, berbeda dengan Hukum Pidana yang membedakan antara kesengajaan dan kurang hati-hati. Oleh karena itu, hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum itu, sehingga dapat ditentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya.

Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum, bilamana ia melakukan sesuatu perbuatan karena overmacht, keadaan darurat (noodweer), dan hak pribadi. Kemudian seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya karena perintah kepegawaian (perintah atasan kepada bawahannya) dan salah sangka yang dapat dimaafkan.

  • Hubungan Kausalitas (Hubungan sebab-akibat)

Hubungan kausalitas dalam hukum perdata tidak jauh berbeda dengan hukum pidana karenanya teori yang dipakai sama, perbedaannya hanya sebatas bahwa hubungan kausalitas dalam hukum pidana berkaitan dengan pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya yang menyebabkan terjadinya tindak pidana sebagai suatu akibat. Sedangkan dalam hukum perdata berkaitan apakah perbuatan tersebut mempunyai hubungan kausalitas atas kerugian yang timbul pada seseorang.

Beberapa teori tentang hubungan kausalitas antara lain adalah :

  • Teori Conditio Sine Qua Non

Teori ini juga disebut sebagai teori mutlak, teori ini dikemukakan oleh von Buri, yang menyatakan bahwa syarat (bedingung) identik dengan musabab dan oleh karena itu setiap syarat mempunyai nilai yang sama/equivalent, Karena hal ini teori ini juga disebut sebagai teori equivalensi.

Maksud dari teori ini adalah sebab dari suatu akibat adalah sama dengan syarat dari suatu akibat tersebut. Para ahli menarik kesimpulan dari teori mutlak sebagai berikut :

  1. Tiap-tiap perbuatan atau masalah, yang merupakan syarat dari suatu akibat yang terjadi harus dianggap sebagai sebab dari akibat.
  2. Syarat dari akibat adalah bila perbuatan atau masalah itu tidak dapat ditiadakan, sehingga tidak akan timbul suatu akibat.

Para ahli mengemukakan kelemahan teori ini adalah mempersamakan syarat dengan musabab, teori ini terlalu luas untuk menentukan pertanggungjawaban dari suatu akibat, dan sangat tidak mungkin musabab dari suatu akibat ada lebih dari satu tindakan. Karena nya ajaran ini tidak digunakan lagi baik di pidana maupun perdata.

  • Teori Adequat

Teori kausalitas adequat penentuan subjektif yang dikemukakan oleh J.von Kries yang dikutip oleh Simons menyatakan “menurut teori adequat, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang norma, dapat atau mampu menimbulkan akibat  atau kejadian tersebut”. Ada juga teori kausalitas adequat penentuan objektif yang dikemukakan oleh Rumelin.

Kemudian, Pada tahun 1960 timbul ketidakpuasan terhadap teori adequate yang dikemukakan oleh Koster. Dalam ketidakpuasannya, Koster melahirkan sebuah teori baru yaitu sistem “dapat dipertanggungjawabkan secara layak” (Toerekening naaqr redelijkheid) yang faktor-faktornya adalah sebagai berikut:

  1. Sifat kejadian yang menjadi dasar tanggung jawab;
  2. Sifat kerugian;
  3. Tingkat kemungkinan timbulnya kerugian yang dapat diduga;
  4. Beban yang seimbang bagi pihak yang dibebani kewajiban untuk membayar ganti kerugian dengan memperhatikan kedudukan finansial pihak yang dirugikan.
  • Kesalahan (schuld)

Menurut J. Satrio kesalahan dalam Pasal 1365 adalah sesuatu yang tercela, yang dapat dipersalahkan, yang berkaitan dengan perilaku dan akibat perilaku si pelaku, yaitu kerugian, perilaku dan kerugian mana dapat dipersalahkan dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan. Unsur kesalahan dalam Pasal 1365 adalah unsur yang harus ada dalam kaitannya dengan tuntutan ganti rugi, bukan dalam rangka untuk menetapkan adanya tindakan melawan hukum.

Sebagaimana dalam perkembangan doktrin dan yurisprudensi hukum perdata di Indonesia perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dimaknai secara luas. Dan jika dibandingkaran dengan perbuatan melawan hukum secara pidana, perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata (onrechtmatige) dan pidana (wederrechtelijk) tidaklah berbeda, hal ini jelas tertera pada  undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya” Eddy O.S Harrierj berpendapat bahwa dapat dipastikandalam pasal tersebut digunakan adalah Pasal 1365 mengenai (onrechtmatige daad) atau perbuatan melawan hukum.

Adapun perkembangan perbuatan melawan hukum dalam praktek dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No. 1051 K/Pdt/2014 dalam perkara PT.Chuhatsu Indonesia melawan PT.Tenang Jaya Sejahtera, dalam putusan tersebut MA berpendapat “Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak”.

Referensi :

Ridwan Khairandy, Hukum Perikatan, (Yogyakarta: UII Press), 2013
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Depok: Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia), 2003
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2001
Eddy  O.S.  Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip  Hukum Pidana, (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka), 2014
Shinta Agustina, Roni Saputra, Alex Argo Hernowo, Ariehta Eleison Sembiring, PENJELASAN HUKUM : SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM KASUS KORUPSI, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta, 2016

Mungkin Anda Menyukai

WhatsApp chat